Sumba Tengah sebagai kabupaten yang tergolong masih muda
memiliki visi yang jelas: “Bersama rakyat membangun Sumba Tengah yang Maju, Mandiri,
Sejahtera, dan Berkeadilan”. Visi ini bukan hanya merupakan mimpi dari pemimpin
daerah, namun merupakan mimpi dari puluhan ribu penduduk Sumba Tengah. Visi
atau mimpi bukanlah hal yang sederhana. Visi tidak dapat dicapai dalam hitungan
hari, pun dengan cara yang mudah. Visi akan tetap berada di dunia abstrak
apabila tidak ada langkah nyata yang diupayakan untuk mencapainya. Karena visi
Sumba Tengah merupakan mimpi bersama, upaya pencapaian mimpi ini tidak akan
tercapai tanpa partisipasi dari seluruh komponen masyarakat. Hal ini tampak
jelas dari visi Sumba Tengah yang diawali dengan kalimat “bersama rakyat”.
Pemerintah Kabupaten Sumba Tengah bekerja sama dengan
Fakultas Hukum (FH) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) telah menghasilkan
sebuah Dokumen/Naskah Akademik yang berjudul Tiga Gerakan Moral (Perspektif
Historis, Filosofis, Yuridis dan Sosiologis). Penyusunan Dokumen/Naskah
Akademik dilaksanakan oleh tim dari FH UKSW yang terdiri dari empat orang
dosen, dan diketuai oleh putra daerah Sumba Tengah yaitu Umbu Rauta, SH.,
M.Hum. Dokumen/Naskah Akademik ini bertujuan untuk memberikan dasar pembenar
(justifikasi) terhadap Tiga Gerakan Moral yang tidak lain adalah komitmen
bersama masyarakat Sumba Tengah sekaligus merupakan salah satu sarana
pencapaian visi Sumba Tengah.
“Tak ada gading
yang tak retak”, tak ada satupun hal di dunia ini yang sempurna, begitupula
dengan Sumba Tengah. Dalam upaya untuk merealisasikan mimpinya, Sumba Tengah
memiliki masalah dan tantangan yang tidak sedikit. Salah satu masalah yang
dianggap sebagai masalah utama terkait dengan karakter sumber daya manusia (SDM)
yang berkenaan dengan karakter dan kebiasaan masyarakat yang belum sepenuhnya
mengarah pada perbaikan kehidupan.
Umbu Rauta dkk menggunakan istilah hiperealitas ritual (hypereality of ritual) dalam
menggambarkan karakter masyarakat Sumba Tengah dalam melakukan ritual adat.
Yang dimaksud dengan hiperealitas ritual adalah realitas ritual yang melampaui
hakekat ritual adat itu sendiri. Salah satu contoh nyata dari kecenderungan
tersebut adalah dalam hal jumlah ‘belis’. ‘Belis’ sebenarnya merupakan sarana
simbolik bagi hubungan kemanusiaan yang terbentuk melalui perkawinan. Jumlah
belis berkisar antara 11 hingga 17 ekor ternak. Sayangnya saat ini jumlah
‘belis’ dianggap sebagai gambaran status sosial sehingga masyarakat merasa “berkewajiban” untuk menuntut dan
memberikan ‘belis’ dalam jumlah yang besar. Hiperealitas ritual seperti ini
akan menjadikan adat sebagai alat yang memiskinkan masyarakat secara sistemik.
Pola hidup masyarakat yang seperti inilah yang merupakan salah satu masalah SDM
yang sedang berlangsung di Sumba Tengah.
Karakter SDM yang menjadi masalah juga tampak dari fakta
bahwa sebagian besar masyarakat Sumba Tengah yang adalah petani cenderung
menganggap bahwa pengolahan ladang sebagai pekerjaan sambilan. Masyarakat lebih
memilih untuk mengolah sawah tadah hujan daripada mengolah kebun. Hal ini
menyebabkan banyak lahan kering yang sebenarnya berpotensi untuk diolah menjadi
terabaikan. Pengolahan lahan kering juga sebenarnya dapat dilakukan sebagai
salah satu upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan (food sovereignity) serta meningkatkan pendapatan masyarakat, yang
pada akhirnya dapat mengatasi masalah kemiskinan. Sayangnya masyarakat lebih
memilih untuk memprioritaskan pengolahan sawah tadah hujan dan cenderung
mengabaikan pengolahan lahan kering.
Maraknya pencurian dan perampokan di Sumba Tengah sangat
berdampak pada terkikisnya rasa aman masyarakat. Pencurian hewan ternak secara
khusus, menghasilkan dua masalah sekaligus, yaitu: pemiskinan secara cepat terhadap
pemilik ternak dan surutnya minat masyarakat untuk beternak. Kebiasaan mencuri
dan merampok selain merupakan tindakan kriminal, juga menunjukkan bahwa budaya
malas (bekerja) masih melekat di tubuh masyarakat.
Tiga Gerakan Moral lahir sebagai jawaban atas
masalah-masalah di atas, dengan basis filosofis, sosiologis, dan basis yuridis
formal yang jelas, serta dimaknai sebagai hukum adat oleh masyarakat. Tiga
Gerakan Moral yang terdiri dari (1) Gerakan Kembali ke Kebun, (2) Gerakan Hidup
Hemat, dan (3) Gerakan Desa Aman, sama sekali tidak bertentangan dengan hukum
yang berlaku di Indonesia, bahkan didukung oleh berbagai undang-undang yang
berlaku di Indonesia. Atas dasar kesepakatan bersama Pemerintah Kecamatan, Pemerintah
Desa, dan Lembaga Adat di Tingkat kecamatan, substansi dari masing-masing Tiga
Gerakan Moral disusun lengkap dengan sanksi adatnya. Lembaga Adat sendiri
terdiri dari tokoh-tokoh adat di setiap kecamatan yang dipilih untuk mengawasi
pelaksanaan Tiga Gerakan Moral bersama-sama dengan pemerintah daerah.
Pelanggaran terhadap Tiga Gerakan Moral akan dikenakan
sanksi. Tidak hanya sanksi adat yang telah disepakati di masing-masing
kecamatan, tetapi juga sanksi hukum formal. Hal yang perlu diperhatikan adalah
apabila terjadi dualisme sanksi terhadap suatu pelanggaran.
Karena berasal dari masyarakat, pelaksanaan Tiga Gerakan
Moral sangat ditentukan oleh peran serta masyarakat. Namun demikian, teladan
bagi masyarakat oleh para pemimpin daerah tentu akan meningkatkan kesadaran dan
kesediaan masyarakat untuk melaksanakan Tiga Gerakan Moral ini.
Tiga Gerakan Moral merupakan solusi yang disepakati
bersama untuk mengatasi persoalan yang tengah terjadi dalam masyarakat Sumba
Tengah. Solusi muncul karena adanya masalah, sebagai upaya mengatasi masalah.
Oleh karenanya Tiga Gerakan Moral yang adalah solusi terhadap masalah di Sumba
Tengah bukanlah suatu langkah maju untuk mencapai visi Sumba Tengah.
Jika Tiga Gerakan Moral dilaksanakan oleh masyarakat,
apakah masyarakat pada akhirnya akan menjadi masyarakat yang sejahtera, adil,
dan makmur? Kecuali jika konsep sejahtera dan makmur dipahami sebagai hilangnya
kemiskinan dan tindakan pencurian maka tepatlah Tiga Gerakan Moral sebagai
upaya nyata merealisasikannya.